Allah Tak Hanya Milik Umat Islam
Masih ingat, Malaysia yang melarang ‘Allah’ untuk media Kristen, setahun lalu, dengan alasan, penggunaan ‘Allah’ di media non Islam dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di negara yang mayoritas (sekitar 60 persen atau 27 juta) penduduknya beragama Islam ini? Sebagai urusan dalam negeri Malaysia, tentu kita tak berhak ikut campur, tapi bolehlah minimal menyungging sinis sambil bergumam, “Ah, Malaysia, iseng amat sih!”
Bolehlah, kita tidak berhak ikut campur dari sisi konstitusi negara kecil tetangga kita itu, tapi, sebagai umat Islam, di mana pun berada di pojok-pojok dunia ini, dari ujung kulon sampai ujung wetan, dari sabrang lor sampai sabrang kidul, kita berhak saja ikut berwacana soal ‘Allah’ ini. Atau, siapa pun kita yang mengganggap ‘Allah’ sebagai bagian dari kehidupan. Sebab, ‘Allah’ tidak hanya milik Malaysia.
Dalam tata bahasa Arab, ‘Allah’ disebut sebagai a’raf al-ma’arif (isim ma’rifat paling ma’rifat, paling spesifik, sehingga ketika disebut, dengan segera dipahami maksudnya). Namun, pada kenyataannya, ‘Allah’ justeru menjadi kata yang paling abstrak, paling tidak spesifik, sehingga memerlukan kata-kata lain untuk menjelaskannya, memperkenalkan siapa Dia. Kita (kalau Anda tidak keberatan saya wakili), akan lebih bisa memahami secara spesifik kata al-rahim (yang kita terjemahkan dengan “Maha Pengasih), ketimbang ‘Allah’. Kita akan lebih bisa memahami ‘Maha Pengasih’, dengan fokus pada kata ‘pengasih’ atau ‘kasih’, ketimbang ‘Allah’ atau ‘Tuhan’. Kita akan lebih memahami ‘Allah’ secara spesifik, paling tidak, setelah menelaah arti apa yang kita kenal dengan al-asma al-husna, atau pun segenap sifat-sifat lain yang ‘layak’ bagi-Nya, yang dirumuskan untuk mengidentifikasi esensi yang dibahasakan dengan ‘Allah’ itu.
Yang a’raf al-ma’arif, yang al-rahman, yang al-rahim, yang laisa kamitslihi syaiun, yang wahdaniyah, yang qudrah, yang iradah dan seterusnya dan sebagainya, yang umat Islam rumuskan untuk mengidentifikasikan satu esensi ‘Yang Maha’, yang dikenal dengan ‘Allah’ itu, tentu ini hanya ada dalam nomenklatur keislaman, untuk kemudian menyatakan bahwa ‘Allah’ yang demikian hanya milik umat Islam. Yang demikianlah ‘Allah’ dalam asumsi umat Islam. Dengan kata lain, umat Islam terikat oleh ‘Allah’ dengan definisi dan penjabaran yang Alquran identifikasikan, dan tidak bisa melepaskan diri dari ikatan itu. (Meski sesungguhnya Allah terlalu ‘maha’ jika semata terbungkus kata ‘Allah’ atau definisi dan identitas lainnya).
Sungguh pun demikin, marilah kita memahami preseden sejarah, bahwa ternyata ‘Allah’ tidak hanya eksklusif milik lisan umat Islam saja. Kafir dan musyrik Quraisy pada masa Nabi Muhammad juga menyebut ‘Allah’, dan bukan hanya itu, bahkan mereka mengakui ‘Allah’ sebagai pencipta, terlepas asumsi ‘Allah’ mereka sama persis atau bahkan sama sekali beda dengan ‘Allah’ seperti dalam asumsi umat Islam. Ini soal lain. Yang jelas, ‘Allah’ tidak kelu di lidah orang kafir/musyrik Quraisy. Lihatlah pengakuan mereka ini, “walain saaltahum, man khalaqa al-samawat wa al-ardh? Layaqulunna Allah”… “Jika kamu tanya mereka, ‘siapa pencipta langit dan bumi?’, mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (lihat juga; Al-Ankabut: 61, Luqman: 25, Al-Zumar: 38, Al-Zuhruf: 87). Atau, ketika mereka, para penyembah berhala itu, ditanya, “Apa arti penyembahan kalian terhadap berhala-berhala itu?” Mereka menjawab, “ma na’buduhum illa liyuqarribuna ilallah zulfa”… “Kami menyembah mereka semata agar mereka mendekatkan kami kepada ‘Allah’ dengan sedekat-dekatnya”. (Al-Zumar: 3).
Dan, bukankah ‘Allah’ telah akrab menjadi tatanama orang-orang Arab pra-Islam. Sebelum Islam datang, ‘abdullah’ adalah nama yang tidak asing bagi mereka. Bahkan, barangkali bangsa Arab pra-Islam telah lebih dulu akrab dengan ‘Allah’, sampai kemudian Islam datang, memperkenalkan ‘Allah’ yang berbeda, revisioner dan revolusioner secara substantif.
Tentu saja, preseden ini paling tidak bisa menjadi acuan untuk tak melarang siapa pun, dari agama dan kepercayaan mana pun, termasuk Kristen, untuk mengucapkan ‘Allah’, terlepas kemudian asumsi tentang-Nya ternyata berbeda. Pada dirinya, ‘Allah’ tidak memiliki pengikat definisi. ‘Allah’ bebas nilai. Yang mempunyai tali pengikat adalah agama, yang menjadi instrumen perumus, pengidentifikasi, pemberi definisi tentang ‘Allah’. Maka muncullah ‘wahdaniyah’, ‘Yang Maha Esa’, yang ‘a’raful ma’arif’, dan sebagainya dan seterusnya, untuk mengidentifikasi ‘Allah’ dalam Islam, yang mengikat umat Islam agar tak sampai pada ‘Allah’ yang salah, yang tidak sesuai dengan definisi dan identifikasi Islam. Sebagaimana (barangkali) Kristen mengikat umatnya tentang ‘Allah’ mereka, agar tak sampai pada ‘Allah’ yang keliru, yang tidak sesuai dengan definisi dan identifikasi Kristen. Setiap agama, saya pikir memiliki ikatan demikian.
Teman muslimku, apakah keimananmu terganggu, jika ‘Allah’ yang Kau imani diucapkan, ditulis, oleh orang yang berbeda keyakinan? Jika ya, sepertinya Malaysia adalah sangkar emas yang aman untukmu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan